Total Tayangan Halaman

Selasa, 17 April 2012

Makalah Muzara'ah, Musaqah, & Mugharazah ( Fikih Muamalah)

BAB II
PEMBAHASAN

I.          MUZARA’AH
A.    Pengertian
Menurut etimologi muzaraah memiliki  arti al inbat yakni menumbuhkan. Sedangkan menurut terminologi adalah akad kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja tani untuk diolah, sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu.
Muzara’ah yang di definisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jazirih, sebagai berikut.
1          Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah :
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”

2        Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah :
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”

3        Menurut Malkiyah, muzara’ah ialah :
“Bersekutu dalam akad.”
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa dari pengertian tersebut dinyatakan, muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
4        Menurut dhair nash, al-Shafi’I berpendapat, bahwa muzara’ah ialah :
“Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”

5        Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah ialah :
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”

B.    Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Ibnu Abbas ra.
Sesungguhnya Nabi saw. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi bebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
Kerjasama muzaraah menurut ulama hukumnya boleh, dasarnya adalah riwayat bukhari yang menyatakan:
“bahwasanya Rasul Allah SAW mempekerjakan penduduk khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dhasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”
C.    Rukun dan Syarat  Muzaraah
1.             Rukun muzaraah
a.         pemilik lahan (shahib al-ardhi)
b.        petani penggarap (al-amil muzari’i)
c.         objek muzara’ah (lahan dan keuntungan)
d.        ijab kabul
bagi yang melakukan akad disyaratkan baligh dan berakal. Pendapat ulama Hanafiyah menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, kerena tinadakan hukum orang yang murtad dianggap mauquf.
Syarat yang menyangkut tanah pertanian atara lain tanahnya dapat digarap, tidak tandus, batasnya jelas. Syarat yang berkaitan dengan hasil panen adalah pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada pengkhususan, dan pembagian hasil panen ditentukan sejak dari awal akad, agar tidak menimbulkan perselisihan.
            Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1.      Syarat yang bertalian dengan ’aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang bekaitan dengan tanaman, yang disyariatkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan dari hasil tanaman, yaitu :
a)        Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
b)       Hasil dari milik bersama
c)        Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah.
d)       Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e)        Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.

4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu : a) tanah tersebut dapat ditanami; b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.

5.      Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah :
a)        Waktunya telah ditentukan
b)       Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih empat bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)
c)        Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.       Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.

D.   berakhirnya akad muzaraah
akad kerjasama muzaraah dan mukhabarah dapat berakhir jika:
1.      habisnya masa usaha pertanian dengan panen atau sebelum panen
2.      atas permintaan salah satu pihak sebelum panen atau pihak pekerja jelas-jelas tidak mampu melanjutkan pekerjaannya
3.      kematian pihak yang mengadakan akad menurut pendapat Abu Hanifah, tetapi menurut pendapat madzhab Maliki dan Syafii muzaraah tidak putus dengan kematian salah satu pihak yang berakad

E.     Hikmah Muzara’ah
1.        Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
2.        Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
3.        Tertanggulanginya kemiskinan.
4.        Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan      bertani
    II.            MUSAQAH
A.                Pengertian dan dasar hukum Musaqah
Menurut bahasa, Musaqah berasal dari kata “As-Saqyu” yang artinya penyiraman. Sedangkan menurut istilah musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun (tanah) dengan petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan perjanjian.
Menurut istilah juga, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-Jaziri, sebagai berikut.
1.      Menurut Abdurrahman al-Jaziri, al-musaqah ialah :
Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.”[1]
2.      Menurut malikiyah, al-musaqah ialah :
”sesuatu yang tumbuh di tanah”
Menurut malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah dibagi menjadi menjadi lima macam, sebagai berikut.
·        Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.
·        Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.
·        Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah.
·        Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang ada dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.
·        Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan di tempat lainnya.[2]
3.      Menurut Syafi’iyah yang dimaksud al-musaqah ialah :
”Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tanah dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya, dengan menyiram memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
4.      Menurut hanabilah, al-musaqah mencakup dua masalah berikut ini.
·        Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiga atau setengahnya.
·        Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.
5.      Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, al-musaqah ialah:
Mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.”
6.      Menurut Hasbi ash-Shiddieqi, yang dimaksud dengan al-musaqah ialah :
”Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan.”
Setelah mengetahui definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, kiranya dapat  dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.[3] Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah, dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nishab tertentu dari hasil panen.[4]
Musaqah hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ الله ُعَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ ص م عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ    (متفق عليه)
Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).
B.          Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun-rukun  musaqah menurut ulamah Syafi’iyah ada lima, sebagai berikut.
1)     Shigat dapat dilakukan dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah). Disyariatkan shigat dengan lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2)     Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidam), disyariatkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada dibawah pengampunan.
3)     Kebun dan semua pohon yang berubah, semua pohon yang berbuah boleh diparuhkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan ( satu kali dalam setahun ) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati,seperti padi, jagung, dan yang lainnya.
4)     Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berubah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
5)     Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti  seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lainnya.
Rukun Musaqah (Musaqi) adalah sebagai berikut:
a.  Pemilik kebun dan petani penggarap (Saqi).
b.  Pohon atau tanaman dan kebun yang dirawat.
c.  Pekerjaan yang dilaksanakan baik waktu, jenis dan sifat pekerjaannya.
d.  Pembagian hasil tanaman atau pohon.
e.  Akad, baik secara lisan atau tertulis maupun dengan isyarat.
Sementara itu syarat-syarat musaqah adalah sebagai berikut :
a.       Pohon atau tanaman yang dipelihara harus jelas dan dapat dilihat.
b.      Waktu pelaksanaan musaqah harus jelas, misalnya: setahun, dua tahun atau  sekali panen atau lainnya agar terhindar dari keributan di kemudian hari.
c.       Akad Musaqah yang dibuat hendaknya sebelum nampak buah atau hasil dari      tanaman itu.
d.      Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

C.          Musaqah yang dibolehkan
            Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah, Iman Abu Dawud berpendapat, bahwa yang boleh di-musaqah-kan hanya kurma. Menurut Syafi’iyah, yang boleh di-musaqah-kan hanyalah kurma dan anggur saja. Sedangkan menurut Hanafiyah, semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
            Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan panen yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
            Menurut iman Malik, musaqah dibolehkan untuk semuah pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
            Menurut mazhab Hanbali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-Mughni, imam malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.
D.       Tugas penggarap
            Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan, saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah, dan perintisnya batangnya. Maksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang setiap tahun adalah, pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (insidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, dan mengganti pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
E.      Penggarap Tidak Mampu Bekerja
            Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada dikebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras, karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musafakh menjadi fasakh (batal). Dalam akad musaqah disyaratkan, bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, tetapi penggarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu, pendapat ini dikemukankan oleh Mazhab Hanafi.
            Dalam keadaan penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam Malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon. Orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah, karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa musaqah batal apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau sawah yang di-musaqah-kan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan untuk menggarapnya.
F.                 Wafat Salah Seorang ‘Aqid
            Menurut mazhab Hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buahnya (hampir bisa dipanen walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut), demi menjaga kemaslahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau panas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik berkeberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan datangnya buah penggarap tidak berhak memperoleh upah.
            Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakh-nya akad, mereka tidak boleh dipaksa. Tetapi, jika mereka memetikbuah yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu adalah mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya, sehingga dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1)                 Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
2)                 Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang karena dialah yang memotong atau memetik.
3)                 Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai harganya (uang).

G.               Masa berakhirnya Musaqah
Akad musaqah akan berakhir apabila :
1.      Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
2.      Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
3.      Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.

H.              Hikmah Musaqah
1.      Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
2.      Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
3.      Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
4.      Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
III.            MUGHAARASAH
A.    Pengertian
Pengertian mughaarasah adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah garapan dan penggarap untuk mengolah dan menanami lahan garapan yang belum ditanami (tanah kosong) dengan ketentuan mereka secara bersama sama memiliki hasil dari tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Masyarakat Syam menyebutnya dengan munaasabah (paroan) karena lahan yang telah diolah menjadi milik mereka secara bersama sama dan masing masing pihak mendapat bagian separo.


B.    DASAR HUKUM MUGHAARASAH
Ulama fiqh berpendapat tentang kebolehan  mughaarasah. Jumhur ulama (mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) berpendapat tidak boleh karena ada kemungkinan mengandung unsur gharar (ketidakpastian) baik ketidak pastian itu menimpa pengolah ataupun pemilik tanah. sedang mazhab Maliki mengatakan boleh dengan beberapa persyaratan.
Menurut Imam Abu Hanifah perjanjian tersebut tidak sah karena :
1.      Karena dalam kerja sama tersebut lahan yang akan dijadikan objek kerjasama, sudah menjadi hak milik salah satu pihak. Persyaratan tersebut menjadikan kerja tidak seimbang, karena Mughaaris (orang yg menyuruh garap) telah lebih dulu memiliki lahan sedang penggarap tidak memiliki apa apa. Padahal dalam salah satu bentuk kerja sama ditentukan ada kesinambungan dari segi modal dan keuntungan.
2.      Dalam mughaarasah, pemilik tanah menjadikan separo dari tanahnya sebagai upah bagi penggarap atas pekerjaan yang dilakukannya. Dengan demikian sama halnya penggarap membeli separo dari tanah garap yang ada dengan mengerjakan seluruhnya. Hal ini berarti, penggarap membeli separo lahan dengan mengerjakan seluruh lahan yang tersedia, padahal usaha penggarapannya belum pasti dilakukan sewaktu perjanjian dilakukan. Di sisi lain, batas batas kemampuan penggarap pada saat penggarapan belum jelas. Hal ini berarti secara tidak langsung akad yang dilakukan tersebut sudah sejak awal tidak memenuhi syarat, karena mengadakan akad terhadap sesuatu yang belum jelas.
3.      Dalam mughaarasah penggarap mendapat upah berupa separo dari tanah garapannya, oleh karena itu bentuk upahnya tidak pasti baik luas maupun batasnya, sehingga menganding unsur ketidakpastian. Karena upah yang diterima tidak pasti, maka boleh jadi akan merugikan pihak  berdua dan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah. Bila akad sudah batal, maka semua garapan jadi milik pihak pertama, dan penggarap hanya mendapat upah maksimum sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya bukan separo dari garapan yang telah selesai digarap.
Namun, Imam Abu Hanifah membenarkan bila pemilik lahan dan penanam berbagi hasil dari semua penghasilan kebun tersebut (tidak membagi lahan) sebagai upah dari penggarap yang dilakukan oleh pengolah tanah kosong tersebut adalah hasil dari kebun itu setelah berbuah.
Imam Malik membenarkan mughaarasah apabila memenuhi lima syarat :
1.      Tananam yang ditanam oleh penggarap adalah tanaman keras dengan menghasilkan buah yang dipetik dan bukan tanaman palawija.
2.      Jenis tanaman yang akan ditanam tidak jauh berbeda masa antara satu jenis dan jenis yang lain. Bila jenisnya jauh berbeda antara masa berbuahnya, maka tidak dibolehkan melakukan perjanjian mughaarasah.
3.      Penentuan waktu mughaarasah itu jangan terlalu lama. Bila disyaratkan masa perjanjian itu sampai tanaman berbuah, maka perjanjian itu tidak dibenarkan.
4.      Penggarap mempunyai bagian tertentu dari tanah garapannya, berupa tanah beserta garapannya.
5.      Perjanjian tersebut tidak terkait dengan tanah yang dipersengketakan karena ada kemungkinan akan merugikan pihak penggarap, sebab ada kemungkinan tanah itu akan berpindah tangan kepihak ketiga.




[1] Abdurrahman al-jaziri, Op.Cit,hlm. 212.
[2] Hendi Suhendi, Op.Cit,hlm.145.
[3] Hendi Suherndi,Op.Cit,hlm. 145-147.
[4] Muhammad Syafi’I Antonio, Op.Cit, hlm. 140-141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar